Belajar, Diskusi, dan Kedinginan

“SUDAH lama menunggu? Maaf saya terlambat, karena jalan ditutup tadi ada demo Melbourne Occupy.”

Seorang perempuan muda berkulit putih, menghampiri kami di Tullamarine Airport, Melbourne pada pertengahan Oktober 2011. Kami berempat dari Indonesia: Nugie, Yulan, Made, serta saya baru saja tiba dari Jakarta setelah kurang lebih tujuh jam berada di pesawat. Cuaca dingin menembus pori-pori sweater biru yang aku kenakan. Aku berulang kali menarik nafas, “Aduh dinginnya kota ini. Padahal ini sudah musim semi,” aku berguman dalam hati.

Setelah berbincang sejenak, Putri As, perempuan yang menjemput kami dan merupakan staf Asia Pacific Journalist Centre (APJC) mengajak kami menaiki satu taksi kuning menuju penginapan kami di apartemen Quest di Lygon St. Dari kunci yang diberikan, saya tahu akan satu apartemen dengan Luke Guterres seorang peserta dari Timor Leste.

Selama enam pekan kami berada di Australia untuk belajar perubahan iklim dan lingkungan. Ada 14 wartawan dari Asia yang meliputi empat dari Indonesia, dua dari Timor Leste, serta delapan dari kawasan Pasific berkumpul di Asia Pacific Journalist Centre (APJC) di 90 Amess St, Melbourne.

Hari-hari berlalu, kami belajar, berdiskusi, dan dari hari ke hari menjalin keakraban satu sama lain. Belajar di APJC sangat spesial, sejumlah pemateri yang pakar di bidangnya didatangkan untuk memberikan materi dan berdiskusi bersama kami. Mereka terdiri dari para dosen, wartawan senior, NGO, serta politisi.

Selain berdiskusi di kelas, kami juga belajar langsung di lapangan untuk melihat secara langsung persoalan yang ada. Sejumlah tempat di Melbourne kami kunjungi, antara lain Museum Melbourne, Kebun Binatang Melbourne, dan Pusat Kajian Antartika. Kami juga melakukan kunjungan ke Hobart, Tasmania. Banyak tempat kami kunjungi sekaligus belajar di Tasmania, antara lain Styx Valley, sebuah hutan tua yang berusia ratusan tahun dan rencananya akan ditebang oleh pemerintah.

Namun, masyarakat serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (NGO) menolak penebangan tersebut. Satu di antara lembaga masyarakat yang menolak adalah The Wilderness Society. Vica Bayley, direktur kampanye dari The Wilderness Society bersama Beatriz Garcia dari Reducting Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD, serta Alex Lockwood dari Universitas Sunderland bersama-sama kami mengunjungi hutan tersebut. Kami mendapat penjelasan soal kondisi hutan dari Vica Bayley. Dingin menusuk saat kami masuk di hutan yang diperkirakan berusia ratusan tahun tersebut. Rasa dinginnya lebih kuat dari Melbourne.

Kami juga melihat bekas penebangan yang dilakukan pemerintah. Di Australia, pemerintah membangun jalan yang membelah hutan untuk melakukan penebangan. Setelah ditentukan lokasi yang akan ditebang, pekerja kemudian menebang semua kayu yang ada. Setelah diangkut menggunakan alat berat, selanjutnya bekas penebangan tersebut dibakar. Kemudian menggunakan helicopter bibit ekaliptus ditaburkan untuk ditanam di bekas lahan tersebut.

“Tujuan pembakaran ini agar pohon ekaliptus bisa tumbuh subur, ekaliptus yang terkena abu sisa pembakaran bisa menjadi lebih subur,” kata Vica Bayley.

Kini program tersebut sudah hampir berakhir. Sepekan lagi kami akan meninggalkan kota ini. Banyak bekal yang didapat, kini tinggal aplikasi di lapangan.

Terimakasih buat John Wallace yang memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa ikut program ini. Terimkasih juga saya haturkan kepada Direktur Persda Network Herman Darmo, Pimred Tribun Pontianak Albert GJ Joko serta Redpel Andi Asmadi yang mengizinkan saya meninggalkan pekerjaan rutin cukup lama.

Tak lupa ucapan terimakasih buat Catherine Green, Alex Kennedy, Laura Gilmartin, Putri As, Setyo Budi, serta Li Jingji, dan para pemateri antara lain Philip Chubb, dan lainnya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak,” kata Putri As setiap kali kami kesulitan baik di kelas maupun di lapangan. Ucapan yang kurang lebih sama meluncur dari orang-orang APJC, bahkan dari John Wallace sendiri.

Cuaca di Melbourne tak lagi terlalu dingin seperti pertama kali kami datang di kota ini. Rasa hangat sesekali mengingatkan aku akan Kota Pontianak. Sepekan lagi kami berangkat meninggalkan kota ini dan aku mungkin tak akan kedinginan lagi…(*)

Leave a Reply