Category Archives: Bahasa Indonesia

Foto : Panggil saja Laura…

Perempuan cantik satu ini tidak boleh lepas dari cerita. Dia punya peran penting dalam pelatihan APJC yang saya ikuti selama tiga puluh hari lebih. Panggil saja Laura. Itu, nama pendeknya. Nama lengkapnya Laura Gilmartin. Ia memulai bekerja di APJC sejak tahun 2011. Untuk program APJC tentang Mining, Media dan development tahun 2013, Laura punya peran penting. Di APJC, posisi Laura sebagai Program Officer.

Sejak sebelum saya berangkat ke Melbourne, Victoria, Australia. Dia yang selalu aktif berkomunikasi untuk membimbing semua hal yang harus dipersiapkan. Mulai dari apa saja yang yarus dipersiapkan untuk bisa ke Australia, apa saja yang dilakukan ketika di Australia, Laura selalu mengarahkan dan memandu saya dan peserta lainnya dengan sabar dan gimana gitu yah (tidak bisa diungkapkan deh). Itu dulu deh ya tentang Laura. Terima kasih, Laura.

IMG_3173 (1024x683)

Laura Gilmartin

Belajar di Negeri Kangguru

OLEH: Duma Tato Sanda

Ini sesi bersama Suzy Woodhouse

Ini sesi bersama Suzy Woodhouse

BERUNTUNG, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kesempatan 11 jurnalis dari kultur berbeda di 4 negara di Asia – Pasifik: Indonesia, Papua New Guinea, Solomon dan Fiji untuk belajar jurnalisme di negeri kangguru, Australia.

Peserta dari Indonesia adalah Lovina Soenmi, Tommy Apriando, Achmad Choirudin, Dian Muhtadiah Hamna, Wan Ulfa Nur Zuhra dan saya. Gynnie Kero, Gabriel Bego termasuk Mapun Pidian dari Papua New Guinea, Rickson Jorban Bau asal Solomon, sementara Tevita Komaidruka Vuibau datang dari Fiji.

Cahaya Papua adalah media cetak tempat saya bekerja, di ibukota Papua Barat, Manokwari. Tommy kontributor portal berita lingkungan mongabay, Achmad bekerja di Selamatkan Bumi, Wan Ulfa kontributor Lentera Timur, Dian di Fajar Makassar, Lovina di Riau Corruption Watch, Gynnie kerja di The National, Gabriel  dan Mapun di NBC, sedang Tevita di Fiji Times.

Para jurnalis ini tiba di Melbourne 24 Agustus 2013 lalu, mereka akan kembali ke negara masing-masing pada 28 September 2013. Selama di Australia, mereka akan cerita pengalaman dan belajar jurnalisme dengan tema: Mining, Media dan Development yang difasilitasi oleh Asia Pacific Journalism Centre. APJC adalah sebuah organisasi yang konsen pada peningkatan kualitas jurnalis di Asia – Pacific. APJC berkantor di Melbourne, Australia

Para jurnalis akan bertemu para ahli di bidang jurnalisme baik praktisi maupun pengajar di sejumlah universitas di Australia ketika mereka belajar. Mereka juga akan kunjungi sebuah tempat berbeda di Australia dan langsung ke pengalaman untuk lihat praktek pengelolaan tambang perusahaan Tambang di Australia.

***

Sesi pertama, Suzy Woodhouse. Ia coba beri pemahaman tentang kepemimpinan, terutama dalam posisi kita sebagai jurnalis yang punya pengaruh besar buat lingkungan sekitar.

Susi bilang wartawan harus bisa identifikasi dirinya, baik yang terlihat atau tersembunyi. Ini penting sebab wartawan bisa mengendus lebih dalam soal diri orang lain atau narasumbernya setelah dia bisa bedakan mana yang terlihat atau tampak dan mana yang tersembunyi atau disembunyikan. Metode ini dia sebut Johari Window.

Ia juga bagi materi tentang MBTI, ini sebuah alat untuk identifikasi diri. Susi bilang alat ini cukup berguna karena bisa dipakai untuk melacak sedikit kebiasan narasumber kita. Ini baik karena kita bisa tahu bagaimana memposisikan diri secara luwes ketika berhadapan dengan para sumber berita. Singkatnya alat ini bisa bantu kita lakukan wawancara dengan baik.

Banyak cara lain yang Susi sampaikan juga. Ia coba buat kita bisa bekerjsama dengan tim secara baik. Kerja tim menurut Susi penting ketika kita bekerja sebagai jurnalis. Cara ini ia bagi dengan melibatkan kita pada kelompok berbeda untuk bahas topik berbeda. Sesi materi Susi 4 hari.

***

Sesi kedua disampaikan Nigel McCarthy. Ia adalah instruktur jurnalisme bisnis di Australia. Nigel banyak berikan cara praktis menulis berita, seperti cara mencari informasi dari sumber terbuka yang bertebaran di internet. Misalnya, Nigel bilang laporan tahunan atau laporan keuangan sebuah perusahaan yang di posting di website perusahaan adalah contoh informasi yang bisa dipakai sebagai informasi awal untuk menulis berita.

Dalam sesi Nigel, kita juga dikenalkan tentang : Civil Society and the Extractive Industries Transparancy Initiative oleh koordinator Advokasi Tambang Oxfam Australia Serena Lillywhite. Serena cerita soal peran perusahaan tambang bagi komunitas lokal di sekitar tambang. Bagi Serena Tambang belum bisa memberi peran yang berarti kepada perempuan, yang merupakan kelompok paling rentan dalam eksploitasi.

Professor Jurnalisme dari Monash University, Philip Chubb dalam materi Mining, Media dan Climate Change banyak ceritakan soal relasi media, tambang dan perubahan iklim di Australia. Sesi ini ia cerita panjang, tapi banyak dalam bahasa Inggris yang sangat baik. Intinya di Australia hubungan tiga bidang itu cukup rumit. Isu perubahan iklim telah membuat sejumlah kelompok politik di Australia saling berhadap-hadapan.

Akhirnya saya harus katakan, tulisan ini adalah tulisan saya dalam sesi belajar Digital Journalism, Jumat, 6 September 2013, yang akan diposting di weblog saya, hehehehe…. Sesi ini dipandu oleh Renee Barnes.

Ini sesi Digital Journalism. Renee Barnes sedang berbicara kepada peserta workshop.

Ini sesi Digital Journalism. Renee Barnes sedang berbicara kepada peserta workshop.

Foto : Sebelas peserta APJC (Mining, Media and Development) 2013

Hello Every body, saya coba untuk memperkenalkan sebelas peserta workshop untuk program Mining, Media dan Development 2013 yang di selenggarakan oleh Asia Pacific Journalism Centre (APJC). Siapa sajakah mereka.  Let’s see,

 

IMG_3179 (1024x683) (2)

Lovina dari Riau, Indonesia

IMG_3184 (1024x683)

Dian dari Makassar, Indonesia

IMG_3235 (1024x575)

Udin dari Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia

IMG_3264 (1024x683) (2)

Gabriel Bego dari Papua New guinea

IMG_3266 (1024x683)

Rickson dari Solomon Island

IMG_3267 (1024x683)

Gynne Kero dari Papua New Guinea

IMG_3540 (1024x683)

Mapun dari Papua New Guinea

IMG_3583 (1024x683)

Duma dari Papua.

IMG_3458 (1024x768)

Ulfa (jilbab orange) dari Medan, Indonesia

IMG_3183

Tevita dari Fiji

img_3532

Tommy (saya sendiri) duduk merentangkan tangan.

Nah, kalian sudah melihat wajah mereka. Untuk mengetahui lebih jauh tentang mereka, tunggu update berikutnya yah. Coming Soon.

Mengunjungi Melbourne Writers Festival 2013

Dian Muhtadiah Hamna

Dian Muhtadiah Hamna

Presentation of Serena Lilywhite about mining

Presentation of Serena Lilywhite about mining

Training in JSchool, Brisbane

Training in JSchool, Brisbane

DIAN MUHTADIAH

Victoria

“SELAMAT pagi, Daeng ! ”. Ya, saya  bersama 10 jurnalis  jalan terburu-buru ketika kami turun dari tram, sebuah transportasi umum di kota Melbourne, Selasa malam, 27 Agustus lalu.  Waktu pukul 19.07 setempat. Lebih cepat dua jam dari waktu di Makassar. Udara kian dingin. Suhunya mencapai tujuh derajat celcius.

Namun, lalu lintas warga Melbourne, mereka yang berwajah Asia hingga Eropa, tak sepi.  Sibuk dengan pelbagai tujuan. Sama halnya  kami para jurnalis yang berburu waktu hingga tiba di depan Deakin Edge, gedung pertunjukan Melbourne Writers Festival (MWF). Gedung ini berada di Federation Square, Flinders Street yang berada di bagian utara Sungai Yarra yang terkenal itu.

Gemerlap kilatan lampu dari gedung-gedung pencakar langit memayungi Melbourne. Malam kian romantis.  Tak sedikit pemuda dan pemudi berjalan bergandengan tangan.

Kami, enam di antaranya dari Indonesia,  sisanya dari Kepulauan Solomon, Papua New Guinea dan Fiji, mengejar langkah cepat Laura Gilmartin menuju ruang pertunjukan.  Perempuan berusia 27 tahun itu  salah satu pemandu  kami selama di Melbourne.

Dia merupakan staf Asia Pasific Journalism Centre (APJC),  sebuah organisasi non profit yang memiliki program untuk meningkatkan kualitas jurnalisme di kawasan Asia Pasifik. Dan, kunjungan ke MWF ini adalah bagian dari agenda APJC selama kami berada di Australia, 24 Agustus-28 September.

Laura memamerkan senyum lebar ketika menolehkan wajah kepada kami. Kedua lesung pipitnya saling bertemu.  Mengingatkan saya akan wajah manis Kate Middleton.

Perempuan kelahiran Melbourne ini berucap sesaat,  bahwa pertunjukan sudah dimulai.  Maklumlah, untuk mencapai gedung ini, berkisar 20 menit dari apartemen kami di Finlay Place Carlton. Padahal, tak sampai satu jam sebelumnya, kami baru pulang dari kantor pusat APJC yang terletak di bilangan Amess Street, Carlton North. Menerima materi mengenai Leadership dari pagi hingga jelang magrib.

Hampir tiba di depan pintu gedung, antrean mengular. Laura berbincang dengan salah satu panitia. Anggukan panitia itu seiring dengan pintu gedung yang dibuka. Kami pun masuk.

Untuk mengikuti festival yang digelar sejak 22 Agustus lalu dan berakhir malam tadi, Minggu, 1 September, pengunjung dikenakan tiket masuk. Namun ada juga yang gratis. Itu tergantung  kategori  event yang digelar.  Misalnya tentang literatur, jurnalisme, menjadi pembicara utama, menggali ide-ide menulis, menikmati pertunjukan seni ataupun temu penulis.

Namun rata-rata, tiket yang dijual seharga 20 AUD (Australia Dollar) atau sekitar Rp200 ribu per orang. Malam itu, kami masuk secara gratis.

Kursi-kursi yang diatur berjenjang mengikuti anak tangga telah penuh ketika kami  di dalam. Kapasitas gedung ini disiapkan untuk 600 penonton. Kami yang terlambat, tak kebagian tempat duduk.

Beruntung, balkon gedung masih lapang. Di situlah, kami lesehan sambil menikmati presentasi para narasumber dari ketinggian. Di panggung yang didesain artistik dengan tatakan buku  di rak, hadir empat narasumber.

Mereka adalah Duta Besar Timor Leste untuk Australia, Abel Guteres, Pendiri SOKOLA Indonesia, Butet Manurung, Dosen Fakultas  Bahasa dan Budaya Universitas Monash, Melbourne, Simon Musgrave, serta Konsultan Bank Pembangunan Asia (ADB) Stephen Pollard.  Diskusi hangat ini dipandu  Natasha Mitchell,  presenter program Life Matters di Radio Nasional ABC .

Butet Manurung, menjadi satu-satunya penulis dari Indonesia yang diundang menjadi pembicara dalam festival bergengsi ini. Tahun lalu, penulis buku  Makkunrai asal Makassar, Lily Yulianti Farid juga menjadi pembicara.

“Ini pertanyaan bagi saya.  Mana lebih dulu, pembangunan atau mempertahankan adat ?” tanya Butet ketika tiba gilirannya mengurai pendapat.

Perempuan yang meraih gelar S-2 bidang Antropologi Terapan dan Pembangunan Partisipatif di Australian National University Canberra itu, menyatakan bahwa informasi yang diperoleh berdasarkan pendidikan adalah modal untuk mempertahankan tradisi.

Dia mencontoh, motivasinya mengajarkan baca tulis bagi Orang Rimba, suku nomaden yang tinggal di hutan wilayah Jambi, demi menghadapi tekanan modernisasi. “Informasi yang cukup akan membantu mereka secara sukarela mau berubah atau tidak terhadap jalan hidup yang telah dipilihnya,” paparnya.

Dia juga mengkritik, bagaimana masyarakat akan menjaga budaya mereka bila pemerintah tidak membantu dalam hal pembangunan.

Sementara itu, Abel Guterres menguraikan  agar masyarakat tidak memotong akar budayanya sendiri dan kehilangan identitas diri ketika dia mengadopsi modernitas. “Identitas budaya Anda adalah apa yang memungkinkan Anda untuk tetap bersatu dan berjuang. Sehingga pendidikan adalah kunci  pembangunan di dunia,” ingatnya.

Di bawah sana, saya mengamati wajah-wajah para penonton  yang serius menyimak. Banyak di antara mereka yang sibuk mencatat melalui kertas  maupun notebook. Tak terelakkan pula, rebutan pertanyaan dari penonton membuat Natasha Mitchell harus pandai-pandai membagi waktu yang hanya disiapkan selama satu jam.

Anonymous, mahasiswi Universitas Monash asal India datang bersama kekasihnya, Carz, malam itu. “Saya ingin mengetahui  ide-ide pembicara bagaimana mereka mampu melindungi masyarakat dalam mempertahankan tradisinya,” ucap perempuan berambut panjang ini tentang motivasinya mengikuti festival tersebut.

Mike Shuttleworth, Manajer Program Melbourne Writers Festival mengatakan, festival yang digelar mulai pukul 10 pagi hingga 10 malam itu mampu menyedot total 50 ribuan pengunjung selama kegiatan ini berlangsung. “Festival ini digelar setiap tahun sejak 1986. Lebih dari 300 penulis, termasuk sastrawan kontemporer, antropolog, ilmuwan dan politisi ambil bagian di perayaan ini,” terang pria berkacamata itu.

Lily Yulianti Farid, Direktur dan Pendiri Makassar International Writers Festival (MIWF) mengakui inspirasi mendirikan MIWF  tahun 2011 lalu timbul dari festival MWF ini. “Saya berharap  agar kehadiran MIWF tidak disia-siakan warga Makassar ketika festival itu digelar. Karena inilah kesempatan penulis dan pembaca bisa sharing sastra dan literasi dengan mengandalkan sumber daya lokal,” papar Lily di kediamannya, Hope Street, Brunswick. (*)

 

 

 

 

 

 

Weekend di Tepi Pantai

Oleh Lovina

Duduk dari kiri: Gynnie, Ulfa, saya, Suzy (leadership trainer), Duma, Mapun. Berdiri dari kiri: Rickson, Tevita, Gabriel, Udin, Cucu (translator), Dian, Tommy

Duduk dari kiri: Gynnie, Ulfa, saya, Suzy (leadership trainer), Duma, Mapun. Berdiri dari kiri: Rickson, Tevita, Gabriel, Udin, Cucu (translator), Dian, Tommy

KELAS leadership bersama Suzy Woodhouse diakhiri dengan foto bersama Jumat sore (30 Agustus). Kami berfoto dilatar belakangi gambar apel serta kertas-kertas hasil diskusi selama seminggu.

Di akhir kelas, Suzy menanyakan tiga materi yang paling menarik selama seminggu kelas leadership. Masing-masing peserta diberi kesempatan bicara. Kami belajar banyak hal: mengenal diri sendiri, nilai-nilai dan etika, dilema etika para jurnalis, kekuatan, komunikasi, suara, ketegasan, prinsip persamaan, jaringan serta kepribadian.

Bagaimana menjadi assertive (tegas) adalah pelajaran paling menarik bagi saya. Mengapa? Jawabannya simple. Saya tergolong orang yang tidak tegas. Tak mudah bagi saya untuk berkata ‘tidak’ atau mengungkapkan hal yang tidak saya sukai tanpa membuat orang lain tersinggung. Dan Suzy memberikan formula jitu menjadi orang assertive. That’s grade!

Tes kepribadian Myers-Briggs Typology Index (MBTI) adalah sesi lain yang saya senangi. Menarik bisa tahu kepribadian sendiri lebih dalam dan belajar bekerjasama dengan orang yang berbeda kepribadian dengan kita.

Saya juga menikmati moment ketika kami diajarkan untuk bisa mengenal diri sendiri dengan konsep Johari Window. Sejauh apa saya mengenal diri saya sendiri? Apa kebiasaan buruk yang tidak saya sadari?

Menurut saya, konsep Johari Window akan menarik bila dipadukan dengan konsep De-brief Routine yang diberikan Suzy. Dengan me-list setiap hari apa hal yang baik, hal tidak baik dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya, kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna untuk orang banyak.

 

AKHIRNYA bertemu weekend juga. Dengan jadwal yang padat selama seminggu, tentu weekend adalah saat yang dinantikan. Bisa bangun lebih siang. Bisa santai dan melakukan hal-hal yang disenangi. Dan bisa jalan-jalan tentunya, mengeksplore Melbourne lebih jauh.

Setiap peserta punya rencana weekend masing-masing. Dan saya memilih menghabiskan akhir pekan dengan pergi ke pantai.

Mengapa pantai? Pertama karena saya jarang menikmati suasana pantai. Di Pekanbaru, tempat saya tinggal, tidak ada pantai. Alasan kedua karena pantai cukup jauh dari tempat kami menginap. Prinsip saya, semakin jauh saya menghabiskan akhir pekan akan semakin menarik. Kapan lagi bisa eksplore Melbourne lebih jauh. Semakin jauh saya pergi akan semakin banyak yang bisa saya lihat. Bukan begitu?

Saya pergi ke dua pantai di Melbourne. Sabtu ke St. Kilda Beach dan Minggu ke Brighton Beach. Perjalanan ke pantai ditempuh dengan naik tram menggunakan Myki Card.

Tram adalah salah satu alat transportasi di Melbourne. Untuk bisa bepergian menggunakan tram, kita harus punya Myki Card. Kartu ini bisa dibeli di setiap stasiun kereta atau toko seperti 7 Eleven. Kalau bepergian tidak pakai Myki, kita bisa didenda hingga 200 dollar Australia. Wow! Untungnya APJC sudah menyediakan fasilitas Myki Card untuk setiap peserta, jadi kami tinggal pakai saja untuk pergi kemana pun kami mau.

tram  Myki travel card scanners.

Myki Card bentuknya seperti kartu ATM, berwarna hijau muda. Harganya 6 dollar Australia untuk full fare dan 3 dollar Australia untuk anak-anak umur 4-16 tahun. Itu hanya harga kartunya saja, untuk bisa menggunakannya, kita harus top up alias isi ulang kartu tersebut.

Seharian naik tram, kereta api atau bus di dalam kota, kita akan menghabiskan sekitar 7 dollar Australia. Myki Card tidak hanya untuk tram, ia juga berlaku kalau kita bepergian naik bus atau kereta api. Cara pakainya sederhana, kita tinggal touch atau menempelkan kartu ke mesin Myki saat kita naik dan turun dari bus, tram atau kereta api.

Pelajaran paling berharga yang saya dapatkan dari sistem transportasi di Melbourne ini adalah kejujuran. Ya, pemerintahnya mendidik rakyatnya untuk jujur. Tak ada yang memantau apakah kita sudah touch Myki atau belum saat naik atau turun dari bus, tram maupun kereta api. Kalau kita mau nakal, tidak touch Myki juga tidak apa-apa. Namun karena warganya sudah tertib, saya jadi malu sendiri kalau tidak touch Myki saat naik atau turun. Toh gratis juga kan? Karena biaya kartu dan top-up nya sudah ditanggung APJC.

Bisa nggak ya Indonesia pakai sistem transportasi begini? Nggak yakin deh! Bakal rugi besar pemerintahnya, ha ha ha…

Saya pergi ke St. Kilda Beach bersama Tommy Apriando (Indonesia), Duma Tato Sanda (Indonesia) dan Mapun Pidian (Papua New Guinea). Kami menunggu sunset untuk berfoto bersama.

img_3490   img_3532

St. Kilda Beach merupakan pantai terdekat dari kota Melbourne. Letaknya sekitar 6 kilo meter dari pusat kota. Kalau dari hotel Quest Carlton on Finlay tempat kami menginap, jaraknya sekitar 10 kilo meter. Butuh waktu 30 menit perjalanan pakai tram.

St. Kilda Beach terkenal dengan pantai berpasir yang cantik, deretan pohon palem, langit biru yang luas, sunset yang indah, serta taman, restoran dan kafe yang elok. Banyak festival dan tempat menarik yang juga bisa dikunjungi, seperti Luna Park, Acland Street dan Fritzoy. Kalian bisa tahu lebih banyak tentang St. Kilda dengan mengunjungi websitenya.

Saya, Tommy, Duma dan Mapun menghabiskan waktu sekitar 2 jam di St. Kilda Beach. Ambil gambar sunset adalah moment paling menyenangkan. Sayang tak bisa melihat pinguin kecil di St. Kilda Breakwater karena tempatnya sedang ditutup.

dscn0265

St. Kilda Breakwater adalah tempat kita bisa melihat pingun kecil dan Rakali. Ia juga memiliki sekitar 22 ribu ton batu karang. Hampir 1000 pinguin hidup di sana.

Esok harinya, saya mengeksplore Brighton Beach di kota Bayside, sekitar 11 kilo meter dari kota Melbourne. Kali ini kami pergi bertujuh. Saya, Tommy, Duma, Mapun, Tevita Vuibau (Fiji), Gabriel Bego (Papua New Guinea) dan Gynnie Kero (Papua New Guinea).

Sama seperti St. Kilda Beach, kami menggunakan tram untuk pergi ke Brighton Beach. Bedanya, untuk bisa sampai ke pantai, kami harus berjalan kaki satu jam! Ide gila memang.

Awalnya kami tidak menyangka kalau harus berjalan kaki sejauh itu. Kami hanya tahu naik tram dari hotel menuju East Brighton. Naik tram 64 selama 1 jam, kami turun di pemberhentian terakhir. Sampai sana, setelah tanya sana-sini, baru tahu kalau mau ke pantai harus jalan kaki satu jam.

Sebenarnya ada bus yang bisa digunakan untuk pergi ke pantai dari kota East Brighton. Namun karena hari itu hari Minggu, busnya tidak beroperasi. Jadilah kami berjalan kaki ke pantai. Kebayang nggak tuh pegelnya nih kaki.

Namun penat seketika hilang ketika saya tiba di pantai. Indah banget pantainya. Rumah warna-warni di pinggir pantai membuat suasana menjadi lebih indah. Cukup ramai orang di pantai hari itu. Ada yang berjemur, foto-foto di depan rumah, maupun sekedar duduk-duduk di pinggir pantai menikmati sinar matahari.

img_3538 img_3567  img_3542

Pantainya bersih, airnya sejuk dan dingin, banyak kerang juga. Saya bawa pulang 10 buah kulit kerang yang berserakan di sepanjang pasir pantai. Tentu tak ketinggalan berfoto di rumah-rumah pinggir pantai. Setiap rumah diberi nomor dengan cat aneka warna dan rumah ini disewakan. Terbayang bisa punya rumah di pinggir pantai begini. Pasti amat menyenangkan.

Pulangnya kami harus jalan kaki lagi ke tempat pemberhentian tram. Perjalanan yang melelahkan memang, namun menyenangkan. Dua jam berjalan kaki dan dua jam naik tram. Tentu sangat banyak yang bisa dilihat. Pengalaman tak terlupakan. Dan tentu saja weekend yang memuaskan sebelum melajutkan workshop APJC tentang Reporting Mining and Resources bersama Nigel McCarthy.

img_3585

Belajar, Diskusi, dan Kedinginan

“SUDAH lama menunggu? Maaf saya terlambat, karena jalan ditutup tadi ada demo Melbourne Occupy.”

Seorang perempuan muda berkulit putih, menghampiri kami di Tullamarine Airport, Melbourne pada pertengahan Oktober 2011. Kami berempat dari Indonesia: Nugie, Yulan, Made, serta saya baru saja tiba dari Jakarta setelah kurang lebih tujuh jam berada di pesawat. Cuaca dingin menembus pori-pori sweater biru yang aku kenakan. Aku berulang kali menarik nafas, “Aduh dinginnya kota ini. Padahal ini sudah musim semi,” aku berguman dalam hati.

Setelah berbincang sejenak, Putri As, perempuan yang menjemput kami dan merupakan staf Asia Pacific Journalist Centre (APJC) mengajak kami menaiki satu taksi kuning menuju penginapan kami di apartemen Quest di Lygon St. Dari kunci yang diberikan, saya tahu akan satu apartemen dengan Luke Guterres seorang peserta dari Timor Leste. Continue reading

Pelatihan APJC Meningkatkatkan Pengetahuan Wartawan

Peserta Pelatihan APJC 2011 (Photo by : Stefanus Akim)

Bagi aku program yang di selengarakan oleh Asia Pacific Journalism (APJC) tiap tahun bagi negara bagian Asia dan Pacific  sangatlah membantu, karena Negara-negara tersebut termasuk Timor Leste, sebagian besar masyarakat belum tahu apa itu perubahan iklim, termasuk Wartawan.

Kalo di Negara aku Timor Leste banyak Wartawan yang menulis history atau Berita mengenai perubahan iklim, tapi kebayakan kita tulis sesuai dengan pengetahuan kita sendiri, maka itu kadang-kadang membuat Masyarakat bingun dengan informasi yang kita sampaikan.

padahal fungsi seorang wartawan adalah memberi informasi yang akurat dan detail atau tidak membuat masyarakat bingun dengan apa kita sampaikan. maka itu aku kira dengan program yang di selengarakan loleh APJC dengan tema Perubahan Iklim itu sangat membantu para Wartawan, (espesial wartawan dari Timor Leste) untuk meninkatkan peliputan atau dalam menjulis sebuah history mengenai perubahan iklim itu sendiri.

Between Nasi Kuning and Black Coal

I sometimes imagine Banjarmasin’s local food whenever I think of my hometown. Nasi Kuning. Soto Banjar. Ketupat and lontong. However, if I were to imagine Banjarmasin as of present, one thing pops at the top of my mind: the damaged environment caused by coal industry.  I found Southern Borneo had been the second largest coal producer in Indonesia; following its close neighbor, Eastern Borneo.

Continue reading

Pelatihan perubahan iklim APJC

peserta trenin APJC 2011

Melbourne Monday 21 November 2011

 Perjalanan dari Timor Leste menuju kota Melbourne melalui Bandara Udara Internasional Prezidente Nicolao Lobato Dili, diawali pada hari sabtu tanggal 15 October 2011 hingga hari sabtu 26 November 2011.

selama keberadaan saya di kota Melbourne tanggal 17 October 2011, saya bersama lima teman lain diantaranya, Stefanus Akim, Made Ali, Nugi Anuhgera Perkasa dari Indonesia, Yuliana Lantipo Weast Papua dan Teresinha da Costa dari Timor Leste.

 Tanggal 17 s/d 22 October 2011 kami menggikuti program belajar bahasa Inggris tanggal 23-24 October prei.

 Minggo kedua ada teman tuju orang berasal dari Negara Asia Pacific seperti Rikamati Naare dari Kribati, Alain Simeon, Vanuatu, Vere-Fiji, Unumoe Esera-Samoa, Monalia Palu-Tonga, Rozalle-Salomo Ilhan, Peter Korugl, Anissa dari Papua Nugini bergabung dengan Kami mengikuti pelajaran Phiscology dari Torry.

Mingo ketiga kami semua belajar lagi teori tentang Perubahan Iklim di Pacific Asia Journalism Centre Melbourne, lalu kunjungi Kebun binatang Victoria Melbourne.

Minggo ke empat kami berangkat masih tetap belajar teoria tengtang perubahan Iklim di tempat yang sama.

Minggo ke lima elompk ini kunjungi ke Hourbat Tasmania dan melanjutka kegiatan kunjungi langsunga ke hutan Kayu yang bernama Styx Forest bersama Adam dan temannya yanglain, hari kedua, kami kunjungi lagi ke kebung Binatang pribadi Divil’s dan Kanguru asmania, baru melanjutkan perjalanan kunjungan ke tempat Turis di Area Arthur dan pulau pemakaman Penjarah hari berikutnya kunjungi Museum Mona hari jumat kami akhiri denga komfrenci da presentasi masi-masing baru pulan kembali ke APJC Melbourne.

Sidang Dua Minggu Lagi

Catatan sidang ke-13


Sidang Arwin ditunda sampai 23 Nov 2011. Pertama, ahli yang semula Yusril Ihza Mahendra, tak datang.

SEKITAR pukul 10.00—satu jam sebelum sidang dibuka majelis hakim—kursi pengunjung sudah penuh. Sekitar 50 pengunjung duduk tenang di dalam ruang sidang. Tim pengacara pun sudah bersiap. Hanya jaksa Riyono dan Andi Suharlis yang masih santai. Mereka asik bermain handphone. Sesekali berdiskusi sembari tertawa kecil.

Pukul 11.09. “Majelis hakim akan memasuki ruang sidang. Pengunjung dimohon berdiri,” kata Dodi, staf Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pengunjung jadi sekitar 80-an orang. Setelah kelima hakim menempati kursi masing-masing, hadirin dipersilakan duduk kembali.

Sidang molor dua jam dari jadwal. “Pak Muefri ada tamu,” kata Dodi menjelaskan keterlambatan sidang. Jumat, 4 November lalu Muefri resmi dilantik menjadi Kepala Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Yah makin sibuk,” timpal Dodi.

Muefri, Hakim Ketua langsung minta tim pengacara menghadirkan ahli. “Mohon maaf majelis hakim. Kami tidak dapat menghadirkan ahli Yusril Ihza Mahendra. Ada kendala teknis. Kami tidak akan menghadirkan ahli lagi. Agenda sidang selanjutnya kami serahkan pada majelis,” terang Zulkifli Nasution, ketua tim Penasehat Hukum.

Muefri langsung ambil alih sidang. Ia agendakan pemeriksaan terdakwa Arwin AS. Namun Penuntut Umum keberatan. “Kami kira hari ini hanya pemeriksaan ahli. Jadi kami tidak membawa berkas untuk pemeriksaan terdakwa,” kata Riyono.

Majelis hakim memaklumi. Ketua tim Penutut Umum, M. Roem, pun tak hadir.

“Kalau begitu sidang terpaksa kita tunda,” kata Muefri. Pada saat yang sama, ia umumkan kalau dua anggota majelis hakim, Hendri dan Rahman Saleh, tidak bisa hadir di sidang berikutnya. “Mereka berdua dipanggil untuk ikut diklat ke Mahkamah Agung selama seminggu.” Tak ada hakim pengganti. “Karena itu, minggu depan kita tidak bisa melanjutkan sidang.”

Majelis hakim, tim Penasehat Hukum, Penuntut Umum dan terdakwa sepakat sidang dilanjutkan dua minggu kemudian, 23 November 2011. “Agenda pemeriksaan terdakwa,” kata Muefri menutup sidang. (rct, riaucorruptiontrial.wordpress.com)