Dian Muhtadiah Hamna
Presentation of Serena Lilywhite about mining
Training in JSchool, Brisbane
DIAN MUHTADIAH
Victoria
“SELAMAT pagi, Daeng ! ”. Ya, saya bersama 10 jurnalis jalan terburu-buru ketika kami turun dari tram, sebuah transportasi umum di kota Melbourne, Selasa malam, 27 Agustus lalu. Waktu pukul 19.07 setempat. Lebih cepat dua jam dari waktu di Makassar. Udara kian dingin. Suhunya mencapai tujuh derajat celcius.
Namun, lalu lintas warga Melbourne, mereka yang berwajah Asia hingga Eropa, tak sepi. Sibuk dengan pelbagai tujuan. Sama halnya kami para jurnalis yang berburu waktu hingga tiba di depan Deakin Edge, gedung pertunjukan Melbourne Writers Festival (MWF). Gedung ini berada di Federation Square, Flinders Street yang berada di bagian utara Sungai Yarra yang terkenal itu.
Gemerlap kilatan lampu dari gedung-gedung pencakar langit memayungi Melbourne. Malam kian romantis. Tak sedikit pemuda dan pemudi berjalan bergandengan tangan.
Kami, enam di antaranya dari Indonesia, sisanya dari Kepulauan Solomon, Papua New Guinea dan Fiji, mengejar langkah cepat Laura Gilmartin menuju ruang pertunjukan. Perempuan berusia 27 tahun itu salah satu pemandu kami selama di Melbourne.
Dia merupakan staf Asia Pasific Journalism Centre (APJC), sebuah organisasi non profit yang memiliki program untuk meningkatkan kualitas jurnalisme di kawasan Asia Pasifik. Dan, kunjungan ke MWF ini adalah bagian dari agenda APJC selama kami berada di Australia, 24 Agustus-28 September.
Laura memamerkan senyum lebar ketika menolehkan wajah kepada kami. Kedua lesung pipitnya saling bertemu. Mengingatkan saya akan wajah manis Kate Middleton.
Perempuan kelahiran Melbourne ini berucap sesaat, bahwa pertunjukan sudah dimulai. Maklumlah, untuk mencapai gedung ini, berkisar 20 menit dari apartemen kami di Finlay Place Carlton. Padahal, tak sampai satu jam sebelumnya, kami baru pulang dari kantor pusat APJC yang terletak di bilangan Amess Street, Carlton North. Menerima materi mengenai Leadership dari pagi hingga jelang magrib.
Hampir tiba di depan pintu gedung, antrean mengular. Laura berbincang dengan salah satu panitia. Anggukan panitia itu seiring dengan pintu gedung yang dibuka. Kami pun masuk.
Untuk mengikuti festival yang digelar sejak 22 Agustus lalu dan berakhir malam tadi, Minggu, 1 September, pengunjung dikenakan tiket masuk. Namun ada juga yang gratis. Itu tergantung kategori event yang digelar. Misalnya tentang literatur, jurnalisme, menjadi pembicara utama, menggali ide-ide menulis, menikmati pertunjukan seni ataupun temu penulis.
Namun rata-rata, tiket yang dijual seharga 20 AUD (Australia Dollar) atau sekitar Rp200 ribu per orang. Malam itu, kami masuk secara gratis.
Kursi-kursi yang diatur berjenjang mengikuti anak tangga telah penuh ketika kami di dalam. Kapasitas gedung ini disiapkan untuk 600 penonton. Kami yang terlambat, tak kebagian tempat duduk.
Beruntung, balkon gedung masih lapang. Di situlah, kami lesehan sambil menikmati presentasi para narasumber dari ketinggian. Di panggung yang didesain artistik dengan tatakan buku di rak, hadir empat narasumber.
Mereka adalah Duta Besar Timor Leste untuk Australia, Abel Guteres, Pendiri SOKOLA Indonesia, Butet Manurung, Dosen Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas Monash, Melbourne, Simon Musgrave, serta Konsultan Bank Pembangunan Asia (ADB) Stephen Pollard. Diskusi hangat ini dipandu Natasha Mitchell, presenter program Life Matters di Radio Nasional ABC .
Butet Manurung, menjadi satu-satunya penulis dari Indonesia yang diundang menjadi pembicara dalam festival bergengsi ini. Tahun lalu, penulis buku Makkunrai asal Makassar, Lily Yulianti Farid juga menjadi pembicara.
“Ini pertanyaan bagi saya. Mana lebih dulu, pembangunan atau mempertahankan adat ?” tanya Butet ketika tiba gilirannya mengurai pendapat.
Perempuan yang meraih gelar S-2 bidang Antropologi Terapan dan Pembangunan Partisipatif di Australian National University Canberra itu, menyatakan bahwa informasi yang diperoleh berdasarkan pendidikan adalah modal untuk mempertahankan tradisi.
Dia mencontoh, motivasinya mengajarkan baca tulis bagi Orang Rimba, suku nomaden yang tinggal di hutan wilayah Jambi, demi menghadapi tekanan modernisasi. “Informasi yang cukup akan membantu mereka secara sukarela mau berubah atau tidak terhadap jalan hidup yang telah dipilihnya,” paparnya.
Dia juga mengkritik, bagaimana masyarakat akan menjaga budaya mereka bila pemerintah tidak membantu dalam hal pembangunan.
Sementara itu, Abel Guterres menguraikan agar masyarakat tidak memotong akar budayanya sendiri dan kehilangan identitas diri ketika dia mengadopsi modernitas. “Identitas budaya Anda adalah apa yang memungkinkan Anda untuk tetap bersatu dan berjuang. Sehingga pendidikan adalah kunci pembangunan di dunia,” ingatnya.
Di bawah sana, saya mengamati wajah-wajah para penonton yang serius menyimak. Banyak di antara mereka yang sibuk mencatat melalui kertas maupun notebook. Tak terelakkan pula, rebutan pertanyaan dari penonton membuat Natasha Mitchell harus pandai-pandai membagi waktu yang hanya disiapkan selama satu jam.
Anonymous, mahasiswi Universitas Monash asal India datang bersama kekasihnya, Carz, malam itu. “Saya ingin mengetahui ide-ide pembicara bagaimana mereka mampu melindungi masyarakat dalam mempertahankan tradisinya,” ucap perempuan berambut panjang ini tentang motivasinya mengikuti festival tersebut.
Mike Shuttleworth, Manajer Program Melbourne Writers Festival mengatakan, festival yang digelar mulai pukul 10 pagi hingga 10 malam itu mampu menyedot total 50 ribuan pengunjung selama kegiatan ini berlangsung. “Festival ini digelar setiap tahun sejak 1986. Lebih dari 300 penulis, termasuk sastrawan kontemporer, antropolog, ilmuwan dan politisi ambil bagian di perayaan ini,” terang pria berkacamata itu.
Lily Yulianti Farid, Direktur dan Pendiri Makassar International Writers Festival (MIWF) mengakui inspirasi mendirikan MIWF tahun 2011 lalu timbul dari festival MWF ini. “Saya berharap agar kehadiran MIWF tidak disia-siakan warga Makassar ketika festival itu digelar. Karena inilah kesempatan penulis dan pembaca bisa sharing sastra dan literasi dengan mengandalkan sumber daya lokal,” papar Lily di kediamannya, Hope Street, Brunswick. (*)